Tidak ada yang istimewa dari kejadian-kejadian
yang aku alami jika ia tak meninggalkan kesan bahkan tak tertangkap hikmah
sedikit pun pada diri ini.
“Apa rencanamu Dik?” ia memulai pembicaraan
serius kami setelah salam dan apa kabar terselesaikan dengan baik. Aku
menemukan ia bersandar di tembok teras sebuah masjid salah satu kampus ternama
di Yogyakarta, menghadap ke arah timur sembari memperhatikan mahasiswa/i yang
berlalu lalang selepas sholat dhuhur. Tas coklat bermerk sangat aku kenal
tersanding disampingnya. Pas banget dengan baju yang ia kenakan siang itu.
Membuat ia terlihat elegan di mataku. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.
Selalu saja dia membuat hatiku meleleh. Sebenarnya aku bingung mau menjawab
apa. Otakku selanjutnya bekerja keras mencoba mengikuti dengan benar arah
pertanyaannya, ‘rencanaku hari ini’ atau ‘rencana kehidupanku’.
Mengikuti gaya
duduknya, bersandar di tembok, tas gendong dan jaket kumalku setengah ku pangku
justru membuat ia mengubah posisinya, bergeser
di hadapanku. Mungkin ia amat sangat berharap melihat pelangi diwajahku
karena tiba-tiba saja hujan turun dengan lebatnya di siang bolong. Aku biarkan
saja ia begitu, menatapku. Setahuku ia bukanlah paranormal, psikolog atau
psikiater. Aku biarkan saja ia begitu, menatapku. Memperhatikan setiap ekspresi
raut mukaku ditiap kata yang akan aku ucapkan. Aku biarkan saja ia begitu,
menatapku. Mengerti dan memahami bahasa hatiku. Aku biarkan saja ia begitu,
menatapku. Agar harapannya bertemu denganku siang ini melegakan semuanya. Aku
menikmati hujan. Guyuran air dari atap masjid begitu keras menghantam tangga
pertama membuncah hingga ujung teras.
Begitu pula butiran-butiran air diluar sana, mengetuk-ngetuk anak-anak
tangga masjid hingga menghasilkan irama yang sungguh luar biasa. Nyanyian
hujan.
“Jadi, apa rencanamu Dik?” ia kembali mengulang
pertanyaannya. Aku alihkan pandanganku dan menatapnya dengan sedikit keyakinan
bahwa jawabanku sesuai yang ia inginkan.
Masjidil Haram |
“insya
Allah umroh”.
“Alhamdulillah...kapan?”.
“insya Allah 2 April”.
”Kenapa engkau tak menikah dulu, terus umrohnya
berdua?”.
Aku kembali tersenyum. Engkau sesungguhnya
sangat berharap aku menjawab bahwa aku sudah menikah, atau aku akan menikah
bukan? Maaf telah mebuatmu kecewa.
“ikhtiar nyataku untuk umroh sekedar aku
meminta ijin ortu, minta rekomendasi atasan, mencari travel, selanjutnya
memohon ridho Allah. Sekedar urusan pribadiku dengan pribadi yang lain. Tapi kalo
aku menikah, tidak sesederhana itu. Ada sekelompok pribadi yang lain, yakni
keluargaku, keluarga seseorang yang bisa jadi tak sependapat. Bla bla bla...”.
“Ya, aku mengerti. Terus setelah umroh.”
Ia benar-benar menginginkanku menjawab sesuatu.
“insya Allah menikah”
Nah...benar bukan. Mukanya yang sedari tadi
serius langsung lenyap. Mulai tersenyum senang.
“ Kapan?”
“insya Allah setelah umroh”
“iya, kapan?”
“ *****, itu yang akan aku mohonkan di
Baitullah.”
Dan engkau mulai tersenyum-senyum bahagia. Sampai aku terheran-heran dengan senyummu. Mudah
saja membuatmu senang.
“Terus? Setelah itu?”
Aku mengerutkan kening. Sebenarnya, apa lagi
yang ingin ia tahu? Rencana-rencana
besarku? Atau rencana sederhanaku?
“insya Allah ibadah haji.”
“Kenapa tidak daftar setelah nikah biar berangkat berdua?”
“Kenapa tidak daftar setelah nikah biar berangkat berdua?”
“Lalu...? Bagaimana aku bisa menjamin berapa lama
usiaku? Lagian, bukankah waiting listnya sudah belasan tahun. Berapa usiaku
nanti? Aku sekedar mewujudkan mimpi-mimpiku. Dan...Aku jalanin yang Allah kasih
duluan saja.”
“Terus setelah itu?”
Sungguh aku tak mengerti yang engkau mau
dariku. Rencana hidupku yang mana? Karir? Rencana kesenangan hidup di dunia
ini? Tentu saja banyak sekali. Namun, jika
rukun Islam sudah aku penuhi, cukuplah bagiku. Itu yang aku pikirkan saat itu.
Tapi, engkau benar. Aku paham yang engkau inginkan. Engkau ingin aku katakan
semua inginku. Dan aku masih terdiam. Aku teringat semua inginku yang tertulis
rapi dan belum aku coret. Masih banyak yang belum terealisasi dan masih akan
aku tulis lagi. Lagi. Dan lagi. Bagaimana aku bisa mengatakan semuanya kepadamu?
Sedari menanti semua impian besarku terwujud,
tentu aku harus menjalani kehidupan sosialku. Yah... Ada impianku selanjutnya.
Anfauhum linnas. Khusnul khotimah.
“engkau memilih jalan yang berbeda Dik.”
Aku kembali mencoba mengerti kata-katamu.
Aku kembali mencoba mengerti kata-katamu.
“aku tak
seperti yang engkau pikirkan.” Jawabku dalam hati.
Sejatinya, aku sangat ingin sepertimu. Ilmu
yang engkau timba selama ini sangatlah berguna bagi sesama. Sedangkan aku? Aku
masih disini. Engkau berharta, dan hartamu berguna bagi sesama. Sedangkan aku?
Aku masih memikirkan diriku sendiri. Engkau punya waktu, dan waktumu bisa
engkau bagi untuk sesama. Sedangkan aku? Aku masih bergumul dengan urusan
pribadiku yang belum beres-beres. Engkau tak sepenuhnya sehat, aku pernah tahu
riwayat itu dan aku tak sampai hati bertanya meski aku benar-benar ingat, tapi
semua itu tak membuatmu berhenti berdaya guna untuk orang lain. Sedangkan aku?
Pilek saja mengeluh. Aku benar-benar ingin sepertimu.
“Sebenarnya semua tergantung pada kita Dik.
Maukah kita mengubahnya? Beranikah kita mengambil keputusan untuk keluar dari
sini? Kalo kita mau keluar pasti jauh dari seperti sekarang. Kuncinya adalah
keberanian kita mengambil keputusan. Dan bagaimana kita bertanggungjawab dengan
keputusan yang kita ambil itu. Jangan sampai ada sesal, atau mengeluh dikemudian
hari. Kau harus belajar Dik. Tak sepenuhnya keinginanmu itu terealisasi sesuai dengan
inginmu. Bisa jadi ada benturan dengan sekeliling kita. Janganlah kau memaksa
sekelilingmu mengerti akan dirimu. Tapi lihat, pelajari baik-baik, mengertilah, pahamilah sekelilingmu. Beradaptasilah.
Hidupmu akan benar-benar hidup kalau kau sudah menikah. Setiap kesulitan pasti
ada kemudahan. Jangan pernah lari dari tiap kesulitan. Kau pasti bisa Dik”
Speechless...
“Terimakasih” ucapku lirih.
“ Tolong bantu aku dengan do’a,” pintaku, “agar
aku bisa menjalani hidup dengan baik. Tolong juga mohon maafkanlah semua
khilafku yang aku mengerti atau pun tak ku mengerti, yang aku sengaja juga tak
kusengaja. Tolong maafkanlah...maafkan semua janjiku yang belum tertunaikan. “
==================##################=========================
#Teruntuk seseorang yang meng-inspirasi tulisan ini "jazakumullahu khoiron katsiro"
#Teruntuk seseorang yang meng-inspirasi tulisan ini "jazakumullahu khoiron katsiro"