“Haiii….” sapaan 2 kakak beradik berseragam SD Muhammadiyah Purwanggan ketika tiba-tiba muncul di pintu kantor. Keheningan kami terusik. Serempak kami melihat pintu. Sang ayah langsung menjawab “wa’alaykumsalam” [ayah mendengar mereka salam kali ya..]. Kedua kakak beradik tersenyum sambil menghampiri sang ayah. “Lho kok ora salim” sapa sang ayah kemudian diikuti uluran tangan sang anak menyalami teman-teman kantor yang putra. Melihat muka keduanya merah padam saya ikut nimbrung,”Sampai sini naik apa le” (panggilan jawa untuk anak laki-laki-Red). “Naik bis” jawab sang kakak sambil melihatku. “Terus kesininya?” “Jalan kaki...” Subhanallah..jalan kaki? batinku.
Melepas baju atasan dan ternyata di dalamnya mereka memakai kaos sambil berkata,”Panas..panas”. Oh,.pasti panas! Tengah hari gini dengan cuaca sangat cerah di Jogja, siang ini. Naik bus kota jalur 15 dari jl KH Ahmad Dahlan-Jl Godean 15an menit selanjutnya berjalan kaki 300an m tentu membuatmu kepanasan Nak. Kakak-beradik, SD kelas 2 dan 4, bukan tipe bongsor… kalian pemberani Nak. Tapi …begitulah anak-anak. Merah padam, berkeringat tak membuat mereka kecapekan. Melihat sang ayah serius di depan laptopnya mereka hanya melongok monitor, terus ngeloyor keluar setelah sang adik bilang,’’Iki lho mas..Iki lho mas’’. Di luar mereka melihat pekerja-pekerja sedang membetulkan saluran air. Masuk lagi ke dalam kantor sang adik langsung duduk di depan computer samping pintu masuk, kebetulan tak terpakai. Sang ayah meninggalkan laptopnya di meja kerja, pergi entah kemana. Kursi ayah kosong. Sang kakak langsung mendudukinya. Penguasa berganti. ’’iki lho mas..iki lho mas’’ sang adik berkata lagi. Sang kakak mendekati adik. Entah apa kesibukan mereka. Saya juga sibuk nulis ini. Oh..terlihat sang kakak kembali ke kursi sang ayah. ’’Iki lho mas..’’ masih ditempat yang sama sang kakak mengomando sang adik apa yang harus dilakukan. Mereka sibuk di depan monitornya masing-masing. Game online.
Sebenarnya aktivitas ini biasa saya lihat. Sang ayah biasa menjemput kedua putranya sepulang sekolah dan dibawa ke kantor. Mereka melakukan apa pun yang mereka suka, badminton, game online, bermain, beli makanan di koperasi tentu saja bonnya mereka tulis di buku ayah mereka[sepertinya ini mendidik berhutang..hehe]. Atau entah apa lagi yang mereka lakukan tanpa mengganggu kami sampai sang ayah selesai bekerja. Hmmm…ini rumah keduamu ya Nak. Mereka biasa diajak pulang hingga jam 16an. Sebenarnya aktivitas ini biasa saya lihat. Sang ayah lain ataupun sang ibu menjemput anak-anak mereka mulai dari pukul 13 hingga pukul 15 dan… membawa mereka di sini. Adakalanya.
Saya jadi teringat ketika kuliah dulu. Kedua putra salah satu dosen setiap pulang sekolah pulangnya ke kampus. Dari ketika seragam sekolah merah-putih menjadi biru-putih, biru-putih menjadi abu-abu putih. Sekarang tak berseragam…bisa jadi. Kampus rumah kedua bagi mereka. Makan siang, belajar dan entah apa yang mereka lakukan di ruang ayahnya. Tentu saja mereka tak mengganggu aktivitas ayahnya karena sang ayah memiliki dua ruang di gedung berbeda. Bahkan pernah kami melihat mereka pulang pukul 16an dan…lho? kok istri beliau juga pulang dari sini?padahal beliau kan tidak kerja disini? Begitu dulu kami terheran-heran.
Saya jadi teringat Ghozian Adlan (3 tahunan) ponakan. Sekolah play guk pesantren dekat sekolah mama kata dia. Sayang Samarinda tak seperti Jogja, dimana play group bisa sampai pukul 15. Jika mbak saya ngajar sore maka Ghozi pun ikut masuk kelas karena dia harus dijemput pukul 11 WITA. Saya sempat nanya,”Ghozi ganggu ga mbak?’’ Mbak bilang tidak. Hanya saja Ghozi memiliki sifat penolong jadi ketika tulisan di papan sudah penuh Ghozi akan siap menghapus, ‘Ghozi aj ma, Ghozi aj ma’ kata dia ke mamanya dan akan bilang ke siswa, ini sudah kah Kak? kacau.
Saya jadi teringat, ketika harus menemani bapak menginap beberapa hari di PKU. Shift pagi pukul 7-14 wib. Dari teras Multazam terhubung tangga menuju lantai 3 dan lantai 1. Macam tangga khusus karena tangga ini akan sibuk, bapak-bapak maupun ibu-ibu berseragam, hilir mudik menjelang pukul 7 dan setelah pukul 14an. Ada apa gerangan dilantai atas? Mengapa mereka membawa anak-anak dari yang masih dalam gendongan berbekal dot hingga anak-anak usia 3-4 tahunan ke rumah sakit? Mengapa pula ujung tangga lantai atas tertutup macam pagar? Hingga…beberapa hari berikutnya pertanyaan dalam benak saya terjawab. Ketika saya duduk di samping tangga dan kebetulan ada salah satu pegawai turun mengandeng anaknya saya menyapa sambil tersenyum, “lantai atas ada playgroupnya ya?” ‘iya, juga penitipan’ “oya? Masya Allah!” I like this. Salah satu rumah sakit swasta ternama di Jogja menyisihkan salah satu lantainya untuk playgroup dan penitipan bagi karyawannya. Apa mereka mengganggu kerja orang tuanya? Tentu saja tidak. Pernah terlihat oleh saya anak-anak berjalan-berlari dengan santainya di lantai bawah pukul 14an. Sang ayah hanya bertanya “mau kemana?” membiarkan sang anak berekspresi. Hmmm…ini rumah keduamu ya Nak.
Dan kini…ada yang sempat mencair dari pikiran yang lama sudah mengendap. Instansi yang menyelaraskan kewajiban untuk umum dan kewajiban untuk keluarga adalah idealita. Ada yang perlu direncanakan dengan matang ketika wanita memutuskan untuk berdaya bagi sesama dalam suatu instansi. Harus ada kerja ekstra menyelaraskan berbagai amanah. Diperlukan tim work yang saling bersinergi dalam pemberdayaan ini. Dan kini…disini, di tempat kita sendiri, sudah banyak fasilitas yang memudahkan Anda.
Pemilihan sekolah untuk anak macam teman kantor saya yang mengharuskan mereka berangkat pukul 6 karena berjarak puluhan kilometer, memang menyebabkan kemacetan semua jalur arah kota Jogja pagi hari. Tak terbayang pula ribetnya ngantor pukul 7 dengan mengendong bayi. Mana pula balita-balita itu masih tidur diboncengan dengan pakaian seragam. Tetapi lihatlah…bukankah itu membuat anak-anak tetap dekat dengan orang tua mereka. Tanpa terlihat mengekang dunia mereka karena mereka berhasil mencipta dunia mereka sendiri, disini…di dekat ayah-bunda. Ini yang namanya berjuang Nak…
Duniamu dimana Nak? Rasulullah akan bangga dengan jumlah kita yang banyak dan kompeten tentu saja. Dan ini sudah kita awali sedari kecil dulu, ketika kita sudah mampu melakukan pilihan. Ya…kita sudah mampu menentukan pilihan sejak kita lahir. Minimal memilih minuman dan makanan yang kita inginkan. Hingga… kita menjadi anak-anak. Kita mampu memilih baju, sepatu, teman dan tentu saja sekolah yang membuat kita nyaman. Kita memilih dunia kita. Orang tua kita memang tidak memutuskan pilihan dunia kita tetapi orang tua kita mengontrol arah dari pilihan dunia kita. Dan kini…dunia kita sudah terbentuk menuju kompetensi yang membaik setiap harinya.
Lantas…bagaimana dengan dunia anak kita?
Duniamu dimana Nak? Inilah yang mesti Anda rancang, bagi Anda yang sudah menikah dan memiliki anak, bagi Anda yang sudah menikah dan akan memiliki anak, bagi Anda yang baru menikah, bagi Anda yang berniat menikah, bagi Anda yang merancang pernikahan, bagi kita pengukir sejarah. Duniamu Nak…yang bisa kami lihat setiap saat yang mendukung keberdayaan kami, dan mendukung pertumbuhanmu dengan sehat. Jika pesan Rasulullah ajarilah anakmu berkuda, berenang dan memanah…maka akan nyunnah kita dengan poin plus saat mengajari anak-anak kita berenang, berkuda [kuda hidup dan kuda besi], memanah [menembak apa lagi dengan peluru kendali...]. Ya! Bisa jadi kita memfasilitasi sendiri. Tetapi ketika kita tidak mampu, kita bisa memanfaatkan fasilitas yang dipastikan ada di dekat kita. Memberdayakan sesama. Pilihlah duniamu Nak…dekat ayah bunda dengan semua fasilitas yang mengajarimu lebih mengenal Rabb-mu juga Rasul-mu.
Mungkin…kita perlu meneladani do’a Ibnu Jauzy, “Ya Rabb-ku, wujudkanlah cita-citaku dalam hal ilmu dan amal. Berilah umur yang panjang agar aku mencapai yang aku inginkan.”
Ghozian Adlan |